Oleh: Zawaya Halim
Sebelum
Anda terlanjur membaca, penulis sampaikan bahwa essai ini tidak argumentative
secara ilmiah. Jika Anda memutuskan untuk tidak membaca, maka kopi Anda tidak
sia-sia dingin. Namun, jika bertekad melanjutkan, maka Anda memutuskan untuk
lebih open mind it dan menikmati kopi yang lebih bermakna.
Silahkan
diseruput terlebih dahulu. Ya, hitam pekat, dan sebenarnya pahit, jika Anda
lupa menyeduh gula, ibaratkan pesantren, kopi dengan segala jenis sudah
bertebaran, serta pesantren dengan segala genre berserakan.
Lantas,
apakah lembaga pendidikan Islam ini akan terus bersikukuh dengan prinsip
tradisionalisme, di tengah gerusan gelobal, gitalisasi ideology.
Saat
ini, digitalisasi pesantren telah gencar, ini bukan peristiwa baru. Namun,
beberapa pesantren masih bersikukuh dengan dedigtalisasi, bahkan sangat menutup
diri dari perkembangan informasi dan teknologi.
Contoh
kecil, media social dibatasi, komunikasi dan interaksi terbelenggu.
Sedangkan realita gelobal menuntut kita untuk berbaur, membuka cakrawala pemikiran,
serta beradaptasi dan menghindari ketertinggalan.
Ketika
ada prediksi bahwa manusia abad dua satu akan menggandakan diri, antara dirinya
di dunia nyata dan dunia on-line, itu artinya naturalisasi tidak bisa
dielakan lagi, dalam artian kita harus tetap melakukan adaptasi sitem menuju
era akulturasi digital yang islami.
Maka
tak ayal, ketika ada sebuah lembaga pendidikan yang terkejut saat melihat fakta
terbalik tentang anak didiknya berperilaku tidak sesuai dengan apa yang
diajarkan, hal ini pasti terjadi. Semuanya dilatari karena pendidikan kultural
yang anti digital system hanya menyentuh separuh ranah pada anak
didiknya, yaitu ranah real yang tentu hanya separuh kehidupan.
Faktanya,
separuh kehidupan mereka sedang di ranah digital, baik interaksi, komunikasi
maupun penyerapan informasi. Maka tak heran jika pendidikan seakan berfek pada
doktrin pembentukan karakter yang bermuka dua. Anak dituntut berkepribadian baik
di dunia nyata, namun aspek virtual digital belum benar-benar tersentuh oleh system
pendidikan.
Jika tidak
ingin sebatas berkearifan lokal yang mulai tertinggal, tentunya harus ada upgrading
of educations system yang menyentuh kehidupan anak, dalam segala lini dan
tempo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar